Awas Konten Viral Tak Ramah Anak

penyiaran ramah anak

Awas Konten Viral Tak Ramah Anak
Oleh: Yons Achmad
(Pengamat Penyiaran. CEO Komunikasyik.com)

Konten viral tak selalu benar. Ditambah lagi benar saja tak cukup. Ada ruang lain semisal pantas atau tidak pantas, etis atau tidak etis. Semuanya itu menjadi pertimbangan penting ketika kita mengharapkan terciptanya dunia yang lebih beradab. Termasuk  di dalamnya, keadaban digital.

Ada fenomena yang kerap dimunculkan di televisi. Umpamanya, konten viral di media sosial, lantas televisi seolah tak mau ketinggalan. Beragam stasiun televisi kemudian berlomba mengangkat tema-tema yang viral di media sosial. Termasuk misalnya mengundang tokoh-tokoh yang viral tersebut atau tokoh yang memvideokan konten yan lantas menjadi viral di media sosial.

Masalahnya, tayangan itu kemudian membahayakan anak.  Di sini, sebenarnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga  Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) punya andil besar.  Konten-konten siaran yang mengeksploitasi anak, bullying pada anak  masih muncul di televisi, perlu diberikan sanksi yang tegas. Tempo hari, Deddy Corbuzier sempat lantang berteriak lewat podcastnya menyoal fenomena “Fajar Sadboy”  yang viral di media sosial lantas ramai-ramai diundang ke berbagai stasiun televisi. “KPI mana KPI…,” teriak Deddy Corbuzier

Televisi, harusnya lebih aman dibanding media sosial (medsos) yang boleh dibilang aturannya sangat longgar bahkan terkesan tak ada aturan sama sekali. Fenomena “Fajar Sadboy” misalnya di media sosial digambarkan bagaimana sang sosok begitu lemah, laki-laki yang gampang menangis, menitikkan air mata “hanya” gara-gara putus cinta atau cintanya ditolak. Jelas, bukan gambaran yang baik bagi tumbuh kembang anak-anak atau remaja yang harusnya diajarkan untuk lebih kuat menghadapi beragam persoalan atau masalah. Tak mudah menyerah dan terkesan lembek.

Memang, kita tak pernah tahu juga, karena dunia media sosial (medsos) penuh tipa-tipu dan settingan. Tapi, apapun itu, saya kira televisi tak serta merta begitu saja menampilkan fenomena semacam itu. Bahkan, saya kira, amplifikasi, membesar-besarkan sesuatu yang sudah viral tak perlu dilakukan oleh stasiun televisi. Konten-konten sampah dan motifnya hanya uang atau cuan semestinya  tak ada tempat di televisi. Hanya kalau kita ingin mendapatkan siaran yang bermutu dan ramah anak.

Sayangnya, anjuran-anjuran di atas seringkali dipandang klise. Bahkan ada yang bilang, tugas mendidik itu ya sekolah, bukan televisi. Tugas televisi itu ya hanya satu, menghibur pemirsa. Saya kira, pandangan demikian kurang tepat. Masih ada hak-hak anak di sini. Hak anak untuk mendapatkan siaran yang ramah bagi mereka. Yang positif bagi tumbuh kembang anak-anak.

Fakta-fakta tayangan yang membahayakan anak sudah kelewat banyak. Misalnya, di media sosial dan juga diamplifikasi di televisi muncul beragam fenomena “Flexing”, memamerkan kekayaan  untuk tujuan tertentu seperti marketing atau investasi. Entah dipengaruhi hal ini atau tidak,  dua orang  remaja  di Makasar culik dan bunuh anak usia 11 tahun.

Konon, mereka ingin kaya mendadak dengan cara menjual organ korban yang dibunuhnya. Tentu, fenomena ini menandakan bagaimana tingkat literasi media, tingkat literasi digital atau media sosialnya sangat rendah. Itu sebabnya, menjadi penting bagi kita untuk terus memantau dan mengawasi siaran agar benar-benar ramah anak.