Etikabilitas Pilpres 2024

yons achmad pengamat media

Etikabilitas Presiden 2024
Oleh: Yons Achmad
(Pengamat Komunikasi. Founder Komunikasyik.com)

Istilah etikabilitas belum masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Artinya, barangkali memang istilah baru atau istilah lama tapi begitu sangat minim perhatian. Tak pernah digunakan. Maka, izinkan saya untuk mengangkat (kembali) istilah ini. Tentu setelah sebelumnya dipopulerkan oleh Rocky Gerung.

Harapan terdekat, istilah ini masuk KBBI dengan makna yang benar. Selanjutnya, tentu menjadi salah satu perhatian untuk menimbang dan memilih calon pemimpin. Dalam skala kecil komunitas bahkan dilevel kenegaraan (presiden).

Etikabilitas yang saya maksud di sini, dimaknai sebagai sebuah konsep kepatuhan seseorang atas nilai-nilai etis yang tercermin dalam segenap perilaku yang dilakukan. Makna demikian, jika dirasa belum pas betul silakan dikoreksi. Satu hal yang pasti, walaupun kadang oleh sebagian orang, terutama politisi, problem etika, problem moralitas ini dipandang remeh bahkan naïf, tapi tidak bagi publik. Saya kira di tahun politik ini, ketika memilih pemimpin, etikabilitas tetap perlu mendapatkan tempat.

Sementara, seperti biasanya, arus komunikasi politik menjelang gelaran pilpres dan pileg begitu riuh. Beragam peristiwa politik, beragam manuver kerap dilakukan. Tak lain tak bukan dimainkan para elit politik. Di sini, seolah publik hanya bisa menonton pentas yang kadang sangat lucu dan di luar nalar akal sehat.

Padahal, dalam konsolidasi demokrasi, justru yang diperlukan adalah lapisan publik umum (general public) yang melek politik dan punya kesadaran rasional dalam memilih pemimpin. Di sinilah pentingnya publik berperhatian (attentive public) untuk bisa memberikan tempat pada isu etikabilitas.

Sejauh ini, pubik kerap disuguhi tingkat keterpilihan (elektabilitas) kandidat calon presiden dan wakil presiden oleh beragam lembaga survei. Hanya saja, kita paham betul, seakademis apapun performa lembaga survei, dia tidak benar-benar terbebas dari kepentingan politik.

Bias-bias politik juga sisi gelap metodologi tetap bakal menyelimuti. Itu sebabnya, penggiringan opini lembaga survei yang barangkali begitu halus sekalipun mesti kita sikapi dengan kritis. Tentu agar kita bisa lebih obyektif dalam menilai kandidat yang seringkali cenderung dipaksakan pencitraannya.

Dalam wajah yang konkrit, etikabilitas tampak dalam wujud diantaranya tak hanya pada persoalan baik atau buruk tapi melampaui semua itu yaitu pantas atau tidak pantas.

Membiarkan bahkan mendukung anak-anaknya jadi pejabat publik di bawahnya disaat elit (orang tuanya) berkuasa, mungkin sah-sah saja dalam demokrasi, tapi itu tentu tak elok. Berkuasa misalnya baru setahun saja, tapi harta melonjak sepuluh kali lipat bahkan berkali-kali lipat, mungkin bisa lepas dari jerat hukum dan dinilai dari pemasukan sah, tapi tentu itu tidak pantas. Terus mengingkari janji politiknya tapi tetap ingin dipilih kembali, juga bukan performa pas.

Untuk itulah, saya kira, dalam situasi politik yang penuh muslihat elit ini, kita mesti hindari pemimpin yang tak punya common sense (akal sehat, budi pekerti, nalar yang baik).

Akal sehat selalu terkait dengan keberpihakannya kepada publik, budi pekerti terkait dengan kualitas moral pemimpin, sementara nalar yang baik terkait dengan bagaimana visi besar pemimpin tampak dalam beragam ide dan kebijakan yang memberikan arah bangsa ini atas perubahan menuju kemajuan.

Berat memang, sebab calon pemimpin semacam ini kerap mendapatkan serangan pembunuhan kharakter (character assassination). Padahal, kalau kita jeli, calon pemimpin semacam ini yang justru perlu diberikan tempat, bukan yang lain. []