Komunikasi Kesehatan Mental

komunikasi kesehatan mental

Komunikasi Kesehatan Mental
Oleh: Yons Achmad
(Praktisi Komunikasi. Pendiri Komunikasyik.com)

“Kita berada dalam semesta yang begitu melimpah informasi,
Tetapi begitu hampa makna”

(Jean Baudrillard)

Perkara kesehatan mental (mental health) menarik perhatian. Terutama dikalangan milenial dan Gen Z. Hal ini penting, asumsi umum, menjaga kesehatan mental tak hanya membantu seseorang untuk terus menjalani hidup dengan baik, tetapi juga untuk tetap produktif, berkembang, serta berfungsi dengan optimal di lingkungan terkecil hingga di kelompok masyarakat. Karenanya, kesehatan mental perlu dijaga seperti halnya kesehatan fisik. Terkait dengan kesehatan mental, saya coba membacanya dalam perspektif komunikasi. Harapannya, setidaknya bisa sedikit memberikan solusi “akademis” agar manusia kembali menjadi produktif seperti sediakala.

Kita awali dengan beberan data. Kenyataannya, ternyata gangguan kesehatan mental tidak hanya berpotensi dialami oleh generasi milenial atau generasi Z. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2019, secara global 1 dari 8 orang di dunia mengalami masalah kesehatan mental dan hal ini dialami oleh rentang usia dari remaja hingga dewasa. Kementerian Kesehatan mencatat, Indonesia memiliki prevalensi orang dengan gangguan jiwa 1 dari 5 penduduk. Riset Kesehatan Dasar 2018 mencatat, prevalensi depresi 6,1 persen dan masalah mental emosional 9,8 persen pada populasi usia dewasa. Ada 91 persen penderita depresi tak berobat.

Kajian berikutnya, gejala ataupun gangguan kesehatan mental dapat terjadi diberbagai kalangan dengan beberapa faktor, misalnya yang umum dialami seperti perasaan tertekan, cemas, hingga tegang yang membuat seseorang menjadi stres dan menuntut tubuh mereka untuk melakukan penyesuaian. Satu alasan kenapa semuanya itu harus segera dikenali dan diantisipasi penyelesainnya, satu diantaranya ketika gejala tersebut sudah mulai mengganggu produktivitas. Terganggunya produktivitas, tentu saja bisa memengaruhi kehidupan bisnis, karir bahkan kualitas kehidupan keseharian kita.

Di sisi lain, melihat kecenderungan diaplikasi penyedia layanan kesehatan. Semisal di Halodoc, yang merupakan ekosistem layanan kesehatan digital, konsultasi kesehatan mental menjadi salah satu layanan yang paling sering dimanfaatkan oleh pengguna. Kalangan remaja rata-rata mengalami stres dan kecemasan berlebih yang dipicu oleh pola asuh orangtua yang keras dan pernah mengalami perundungan (bullying).

Adapun kelompok dewasa muda mengalami depresi, rasa cemas, dan diikuti dengan serangan panik serta sulit tidur. Gejala-gejala ini cenderung banyak dialami oleh wanita dibandingkan pria dan perasaan stres yang muncul karena berbagai masalah seperti karier dan keuangan. Sementara itu, orangtua, terutama para ibu, berisiko mengalami postpartum depression dan merasa bingung atau resah mengenai tumbuh kembang anak mereka. Orangtua juga biasanya dapat mengalami stres karena tuntutan socio-economic.

Atas kepedulian terhadap kesehatan mental beragam literasi disemarakkan. Hal ini tentu diperlukan. Adanya literasi kesehatan mental saya kira dapat membantu individu, keluarga, sekolah, hingga tempat kerja untuk peduli pada masalah kesehatan mental. Hal ini untuk mendukung langkah besar membangun sistem kesehatan jiwa pada level negara.

Dalam skala kecil, misalnya memberi empati dan mendengarkan orang yang butuh, saya kira sudah meringankan dan menyelamatkan jiwa. Apalagi, jika mendapatkan masalah yang lumayan membahayakan. Seperti adanya peningkatan percobaan bunuh diri secara random meski belum melakukan penghitungan sistemik. Fenomena percobaan bunuh diri kini makin marak. Hal ini bisa dicegah dengan kepedulian yang didapatkan karena adanya kecukupan literasi kesehatan sebelumnya.

Dalam praktik keseharian, kita sering dengar istilah “Kena mental lu”. Kata-kata itu sering terdengar pada anak-anak remaja zaman sekarang, untuk membully maupun melamahkan lawan bicara. Namun hal ini sepertinya sudah menjadi trend di kalangan remaja sekarang. Hal ini tentu menjadi perhatian kita bersama. Pola pendampingan, begitu juga pemantaun pergaulan anak-anak, baik di lingkungan sekitar maupun interaksinya di dunia online perlu jadi bahan obrolan bersama.

Sebagaimana kesehatan mental dipengaruhi oleh peristiwa dalam kehidupan yang meninggalkan dampak besar pada kepribadian dan perilaku seseorang. Dalam kehidupan keseharian, peristiwa-peristiwa tersebut dapat berupa kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan anak, atau stres berat jangka panjang. Ketika kesehatan mental terganggu, maka timbul gangguan mental atau penyakit mental. Gangguan mental dapat mengubah cara seseorang dalam menangani stres, berhubungan dengan orang lain, membuat pilihan, dan memicu hasrat untuk menyakiti diri sendiri. Hal ini tentu kondisi yang bahaya sekali.

Kalau kita potret generasi milenial dan generasi Z, salah satu pemaknaan hidup mendasar di era teknologi digital supercanggih saat ini adalah konektivitas di dunia maya dan privilese keterhubungan tanpa batas ruang dan waktu yang tak lagi linear. Hal ini berbeda dengan generasi sebelumnya yang memaknai hidup dengan menjalin hubungan secara langsung, bertatap muka, mengandalkan interaksi sosial, serta berpartisipasi dalam ranah komunitas. Interaksi dilakukan atas dasar kontak personal yang intens dan bisa diraba-rasakan.

Kondisi demikian, melahirkan ekosistem yang punya corak beda dengan sebelumnya. Misalnya, beberapa orang yang bekerja di usaha rintisan (start up) mengaku terlalu lelah dengan tuntutan kerja yang kadang tidak jelas. Mereka sudah memilih berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater. Sayang sekali, isu kesehatan mental di kalangan pelaku usaha rintisan kurang mendapatkan perhatian. Isu ini tenggelam dalam isu yang menghebohkan, mulai dari gemerlap kehidupan usaha rintisan hingga kabar pendanaan baru dari pemodal ventura. Kabar pendanaan lebih banyak menghiasi media dibandingkan masalah yang sedang dihadapi pekerja di usaha rintisan. Tentu, kondisi demikian sangat memprihatinkan.

Wajah pilu lain, kasus bunuh diri sekeluarga yang berulang ini masih saja terus terjadi. Hal ini menjadi momentum bagi kita untuk lebih peka melihat permasalahan di sekitar kita. Lebih dari itu, ini menjadi momentum untuk membangun dan memperkuat interaksi sosial yang positif di masyarakat, bisa melalui komunitas agama, sosial, lingkungan keluarga ataupun perumahan. Sebuah kolaborasi yang disesuaikan dengan ciri khas interaksi masing-masing.

Harapannya, interaksi sosial yang positif bisa menumbuhkan empati terhadap orang lain, apa pun kondisi dan permasalahan yang sedang dihadapi orang lain tersebut. Hubungan sosial yang sehat ini merupakan salah satu kunci untuk menjaga kesehatan mental. Membutuhkan kesadaran individu untuk terlibat dalam kehidupan bermasyarakat. Sebuah potret masyarakat yang guyub, saling mengedepankan ukhuwah dan kepedulian masing-masing.

Pada akhirnya, hadirnya, komunikasi empatik, diperlukan untuk mendukung interaksi sosial yang positif semacam itu. Kata empati (empathy) sendiri berasal dari kata “Einfuhlung” yang semula digunakan oleh seorang psikolog Jerman. Secara harfiah berarti “Merasa Terlibat” (feeling into). Pemikir komunikasi Idi Subandy Ibrahim dalam buku “Sirnanya Komunikasi Empatik” melukiskan pentingnya empati atau “Merasa Terlibat” dalam komunikasi ini biasanya seringkali dihubungkan dengan pembahasan mengenai persepsi dan kemampuan untuk mendengarkan.

Dalam dunia komunikasi insani (human communication), empati ini kita tunjukkan dengan berusama menjadi pendengar dengan saksama. Layaknya, mereka yang kesehatan mentalnya sedang terganggu, sebenarnya hanya ingin didengarkan. Tak sedang ingin dicarikan solusi atau jalan ke luar. Mereka biasanya hanya butuh didengarkan. Itu saja. Kemampuan mendengar memang sulit, kenapa? Orang lebih suka berbicara atau menanggapi sesuatu daripada mendengarkan.

Diranah Kesehatan, diantara kemampuan yang harus dimiliki ahli terapi dalam sistem “client centered therapy” adalah pemahaman empatik (empathic understanding) atau pemahaman dengan empati. Seperti ujaran Elizabet Hall dalam “Psychology Today” bahwa “The ability to see the world through the eyes of client”. Singkatnya, ahli terapi mesti memiliki kemampuan melihat dunia melalui kaca mata kliennya.

Bagitu juga, tentu saja berlaku bagi para komunikator empatik, kudu memiliki kemampuan melihat dunia dalam kacamata komunikan atau khalayaknya. Bagimana bisa mendengarkan kawan yang merasa kesehatan mentalnya terganggu dengan memandangnya sebagai manusia dengan perasaan dan emosi. Bukan obyek atau robot yang sebatas dilihat dari struktur tubuh yang berfungsi secara mekanis.

Inilah sebuah kemampuan komunikasi empatif dengan berusaha mendengar suara kawan, hingga dirinya, kemudian bisa bangkit kembali. Tak merasa kecil hati, rendah diri, tapi bisa bangkit dan kembali menjadi manusia produktif seperti semula. Menjadikan dirinya merasa kehidupannya berguna dan bermakna kembali. Sebagaimana ujar Penyair Rumi “Ketika kita terus berkarya, maka kita adalah semesta yang bergembira”. []