Komunikasi Politik Inklusif, Membangun Narasi Bersama

evie ariadneshinta dewi

Seiring dengan persiapan Indonesia menghadapi Pemilu 2024 yang krusial, ada kekhawatiran pengalaman pahit Pemilu 2019 yang terpolarisasi karena politik identitas akan terulang kembali. Sebuah kekhawatiran yang wajar mengingat bahaya politik identitas dapat menyebabkan perpecahan sosial dan proses politik menjadi tidak terfokus pada diskursus kebijakan yang substantif.

Politik identitas, yang didefinisikan sebagai pengutamaan identitas pribadi seperti ras, agama, etnis, atau kelas sosial dalam membentuk wacana politik, dapat memolarisasi masyarakat dan menghambat proses demokrasi. Untuk mencegah terulangnya tren ini, diperlukan upaya komunikasi politik inklusif.

Dalam masyarakat yang beragam dan majemuk seperti Indonesia, mengadopsi strategi komunikasi politik inklusif dapat mengurangi dampak buruk dari narasi-narasi yang cenderung berbau politik identitas. Pemerintah, Komisi pemilihan Umum (KPU), para pemimpin politik, dan kandidat sebaiknya bersepakat membangun pesan-pesan politik berupa narasi inklusif yang menyatukan dan bukan memecah belah.

Komunikasi politik inklusif mencakup pemenuhan kebutuhan dan aspirasi, nilai-nilai, harapan, dan impian semua warga negara apa pun latar belakang mereka. Oleh karena itu, para pemimpin politik dapat menggemakan pesan-pesan politik yang menekankan kepada nilai-nilai bersama, persatuan nasional, dan tujuan bersama. Hal ini sebagai upaya untuk menjembatani kesenjangan dan memupuk rasa kebersamaan di antara masyarakat Indonesia. Dengan mempromosikan visi bersama untuk masa depan yang lebih baik, para politisi dapat mengurangi pengaruh narasi berbasis identitas.

Sebagai contoh, narasi bersama dapat berfokus kepada peningkatan performa sosial-ekonomi Indonesia, optimalisasi layanan kesehatan dan pendidikan, atau kelestarian lingkungan. Dengan menyoroti tujuan bersama, para politisi dapat menjembatani kesenjangan dan menyatukan masyarakat Indonesia di bawah satu visi yang sama.

Contoh konkret dari narasi bersama ini dapat berupa penanganan kesenjangan ekonomi. Para kandidat dapat secara kolektif menekankan visi untuk Indonesia di mana setiap warga negara memiliki akses yang sama terhadap peluang ekonomi. Narasi ini dapat menggarisbawahi pentingnya penciptaan lapangan kerja, upah yang adil, dan dukungan untuk usaha kecil untuk mengangkat semua segmen masyarakat. Dengan menyajikan narasi ini sebagai komitmen bersama yang melampaui garis partai, para politisi dapat meyakinkan publik bahwa pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran adalah tujuan bersama, terlepas dari afiliasi politiknya.

Mempromosikan narasi bersama

Narasi inklusif juga dapat berfokus kepada aspek multikultural yang mengedepankan harmoni sosial. Para kandidat dapat bersatu dalam menyampaikan visi Indonesia sebagai bangsa yang memiliki beragam budaya, bahasa, dan tradisi yang tetap dihayati dan dihormati. Dengan mempromosikan narasi bersama ini, para politisi menunjukkan komitmen untuk menciptakan masyarakat yang menjadikan perbedaan sebagai sumber kekuatan dan kohesi, bukan perpecahan.

Selain itu, narasi bersama dapat berkisar pada pengelolaan lingkungan. Para pemimpin politik dapat bersatu dalam mengartikulasikan visi untuk Indonesia yang berkelanjutan, dengan menyoroti pentingnya upaya kolektif untuk memerangi perubahan iklim dan melindungi sumber daya alam. Dengan menampilkan komitmen persatuan dalam isu-isu lingkungan, para politisi menunjukkan dedikasi mereka untuk menjamin masa depan yang bersih dan hijau bagi seluruh rakyat Indonesia.

Komunikasi politik inklusif berupa narasi bersama merupakan suatu tujuan ideal, yang tampaknya mustahil mengingat para kandidat politik sedang berkompetisi untuk memperoleh dukungan dan memenangkan suara dengan cara menonjolkan perbedaan dan keunggulan masing-masing. Katakanlah semua sepakat membangun narasi bersama, tetapi kandidat juga tetap harus membedakan diri mereka dan menawarkan sesuatu yang unik bagi pemilih untuk membuat keputusan yang cerdas dan bernas.

Menurut saya, justru inilah tantangan dari komunikasi politik inklusif karena meskipun narasinya sama, kandidat dapat menunjukkan pendekatan dan strategi yang berbeda dalam memecahkan masalah masyarakat. Mereka dapat memfokuskan kepada solusi konkret dan memberikan rincian tentang bagaimana mereka akan mencapai tujuan bersama. Atau, setiap kandidat dapat menyoroti prioritas isu tertentu yang menurut mereka paling penting untuk dibereskan, misalnya, fokus pada ekonomi, pendidikan, kesehatan, atau lingkungan.

Semua ini dapat dilakukan kandidat dengan gaya kepemimpinan dan pendekatan pribadi yang berbeda dalam berkomunikasi dengan masyarakat. Akhirnya pemilih akan dapat mencermati mana di antara para kandidat Ini yang jujur dan tulus, terbuka, serta mampu mendengarkan suara rakyat yang sesungguhnya.

Di ranah institusi, partai-partai politik perlu berkomitmen untuk menerapkan komunikasi yang inklusif di dalam barisan mereka. Para pemimpin partai harus mencegah strategi kampanye yang memecah belah dan lebih menekankan pada kualifikasi, platform kebijakan, dan rekam jejak para kandidat. Dialog internal partai lebih berpusat pada diskusi-diskusi substantif, dengan demikian menjadi contoh bagi kampanye pemilu yang lebih berbasis isu.

Debat kandidat biasanya menjadi salah satu strategi komunikasi politik andalan para kandidat di fase akhir kampanye, tetapi dalam konteks komunikasi politik inklusif, debat tersebut lebih dari sekadar pertarungan gagasan antar kandidat, tetapi juga mencakup penyertaan masyarakat secara lebih luas. Artinya, berbasis dukungan data lapangan yang akurat, kandidat mampu menampilkan isu-isu yang relevan, berikut informasi yang jelas, mudah diakses, dan dapat dimengerti oleh seluruh masyarakat.

Membangun kepercayaan dan kredibilitas dalam komunikasi politik inklusif merupakan hal yang mendasar, apalagi dalam membangun narasi bersama yang beresonansi dengan publik dan menumbuhkan rasa persatuan dan kebersamaan. Hal tersebut dapat dicapai jika para kandidat memiliki komitmen terhadap nilai-nilai transparansi dan kejujuran, menjaga konsistensi dalam komunikasi, mau mengakui kesalahan masa lalu dan belajar dari kesalahan tersebut, menunjukkan komitmen yang tulus untuk mengatasi kekhawatiran di masyarakat, serta selalu siap menjaga kepercayaan melalui tindakan dan kebijakan nyata.

Kepercayaan ini, pada gilirannya, memperkuat narasi bersama, menyatukan warga negara, dan menumbuhkan visi bersama untuk masa depan bangsa. Ini adalah hubungan simbiosis mutualisme di mana kepercayaan memperkuat narasi, dan narasi yang kredibel semakin membangun kepercayaan. Apa pun jargonnya, apakah ”perubahan” ataupun ”keberlanjutan” yang penting bersepakat membangun narasi bersama untuk Indonesia.

Evie Ariadne Shinta Dewi, Dosen Komunikasi Politik, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran

Sumber: Kompas.id 2 Oktober 2023