Membaca Manuver Elite

prabowo budiman

Membaca Manuver Elite
Oleh: Yons Achmad
(Pengamat Komunikasi. Founder Komunikasyik.com)

Manuver elite politik memang kerap bikin geleng-geleng kepala. Lihat saja bagaimana sosok  Prabowo Subianto yang begitu galak terhadap Jokowi akhirnya bertekuk lutut dan bergabung dalam pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin. Tak ketinggalan cawapresnya, Sandiaga Uno juga bergabung kemudian.

Lihat bagaimana Surya Paloh, Nasdem, Metro TV, Group Media Indonesia, sebelumnya lawan tanding Anies Baswedan dan tak kalah galaknya, sambut 2024 mendatang justru menjadikannya calon presiden dan media yang disebut menjadi corong utamanya. Terakhir, Budiman Sudjatmiko, tokoh PRD yang kemudian gabung PDIP, aktivis 98, anti militer dan Orde Baru, pada akhirnya, jelang 2024 justru memuji-muji Prabowo sebagai sosok pemersatu bangsa dan dinilai sosok pemimpin terbaik.

Sementara, publik hanya bisa menonton fakta demikian dengan segudang kecewa dan tanda tanya. Dalam kesempatan ini, saya coba membaca fenomena demikian dalam perspektif  Komunikasi. Bagaimana kita bisa membaca, memahami dan mencerna dengan akal waras, sehingga tidak lagi mudah dipermainkan dengan beragam manuver elit dengan segala kepentingannya masing-masing.

Kita perlu menyalakan alarm kewaspadaan. Bagaimanapun juga, kita pemilik suara di pemilu 2024. Jadi harus benar-benar bisa terarahkan dalam memilih calon pemimpin (presiden) yang tepat.

Hari ini, kita sedang hidup dalam skenario permainan politik (political game) para elit. Para politisi beserta partai-partai  menyambut 2024 sibuk menjajaki peluang-peluang yang ada, bersilaturahmi, bertemu untuk membawa pesan tertentu atau melakukan beragam kesepakatan.

Fenomena demikian, dalam kajian komunikasi politik sering disebut ZOPA (Zone of Posible Agreement).  Di mana aktor-aktor politik terus membuka area komunikasi yang lebih luwes (fleksible) demi kesepakatan-kesepakatan politik digelaran pemilu 2024. Demi kepentingan politik, jejak rekam sejarah masa lalu seolah tidak berarti apa-apa.

Kenapa hal ini dilakukan? Saya menduga, parpol pengusung capres, masing-masing belum yakin sepenuhnya bakal memenangi kontestasi dalam pilpres 2024 mendatang. Artinya, baik pengusung Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan, tak ada yang benar-bener optimistis dan yakin misalnya bakal memang satu putaran.

Itu sebabnya, mereka memainkan komunikasi politik melingkar (circular model).  Sebuah model komunikasi politik yang dilakukan para elit parpol dengan menjajaki beragam peluang terbaik, membuka pintu seluasnya untuk pertemuan antar kekuatan dengan kesepakatan-kesepakatan tertentu.

Lantas, bagaimana dengan Jokowi sendiri? Tentu ikut “Cawe-Cawe” juga. Istana saya kira ikut melakukan komunikasi dua tahap (two-step models) yaitu mengambil inisiatif untuk memajukan “Calon” lebih dahulu ke arena pertempuran, sebut saja Ganjar Pranowo, tetapi juga menyiapkan alternatif terbaik (The best alternative to negosiated agreement) jika jagoannya keok. Tak lain tak bukan Prabowo Subianto sosoknya. Ini yang bisa menjelaskan kenapa misalnya tiba-tiba Budiman Sudjatmiko yang dikenal dekat dengan Jokowi sampai  “Sowan” dan memuji-muji Prabowo.

Rakyat jadi bingung? Tidak perlu. Kata kuncinya “Continuity and Change”, keberlanjutan dan perubahan. Idealnya, keduanya mesti berjalan seiring. Tapi, hal itu tak bakal sepenuhnya hadir. Di mana, “Isu paling ‘hot’ menuju Pilpres 2024 adalah pertarungan antara melanjutkan ‘legacy’ Jokowi atau sebaliknya, isu perubahan.

Nah, silakan publik menilai. Kalau masih ingin seperti ini saja kondisi politik kita, silakan pilih capres “Istana”, kalau ingin perubahan besar-besaran dari sebelumnya, Anda sudah tahu jawabannya. []