Merawat Ruang Publik Kritis

perang medsos

Merawat Ruang Publik Kritis

Oleh: Yons Achmad

(Pengamat Komunikasi. Pendiri Komunikasyik.com)

Hadirnya ruang publik yang kritis diperlukan dalam negara demokrasi seperti Indonesia. Ketika muncul beragam upaya  mengarah kepada otoriterianisme yang ditandai salah satunya dengan membungkam, menghambat dan membatasi suara-suara yang berseberangan dengan kekuasaan (pemerintahan), tentu saja hal ini tak boleh terjadi. Harus dilawan.

Kita memerlukan iklim ruang publik yang bebas, di mana di sana beragam kebijakan pemerintah dan isu-isu yang terkait langsung dengan publik (masyarakat) diperbincangkan dengan beragam perspektif. Harapannya, tentu arah kebijakan pemerintah selaras dengan sebesar kemaslahatan publik, bukan sekadar berpihak pada elit politik maupun oligarki.

Ruang publik sendiri, meminjam seorang pemikir filsafat komunikasi  asal Jerman Habermas diartikan sebagai tempat terjadinya beragam  pertukaran dan pergulatan gagasan baik kultural, politik maupun ekonomi. Ruang publik ini menyaratkan adanya sebuah zona netral di mana tidak ada dominasi di dalamnya.

Dalam konteks kekinian, tentu saja ada ruang yang semacam itu. Jika dulu media (pers) memegang peran penting sebagai ruang publik, kini hadir media sosial (medsos) yang punya fungsi serupa. Walaupun keduanya sama-sama memegang peran penting, tapi watak keduanya sedikit berbeda. Melihat konteks politik di tanah air, bagaimana sebenarnya wajah ruang publik kita, khususnya di media sosial?

Hadirnya media sosial dinilai sebagai arus besar kebebasan. Ada anggapan, media sosial adalah lawan tanding media arus utama (mainstream). Apa yang tidak diberitakan di media massa, muncul informasinya di media sosial. Kenyataan demikian dinilai sebagai sebuah kemewahan tersendiri dalam iklim demokrasi di Indonesia. Orang bebas bersuara, menyampaikan informasi maupun opini sesuai dengan kehendaknya. Hal ini tentu menjadi hak warga negara.

Hanya, menjadi persoalan ketika sudah bersinggungan dengan pihak lain, baik itu individu, lembaga lain bahkan institusi pemerintah. Muncul problem negatif seperti pencemaran nama baik, ujaran kebencian, provokasi bahkan maraknya kabar bohong (hoaks). Persoalan menjadi bertambah pelik ketika tafsir atas semua itu bukan berdasarkan hukum, tapi semata-mata tafsir aparat penegak hukum dan kekuasaan. Dalam konteks ini, kehadiran medis sosial sebagai pilar demokrasi terbaru menjadi  sebuah ironi.

Di alam demokrasi, media sosial sebagai ruang kritik, terutama kritik atas segala kebijakan pemerintah memang diperlukan. Hal ini adalah sebuah iklim yang baik bagi tumbuhnya dialog dan sarana bagaimana memunculkan beragam terobosan (breakthrough). Problem selanjutnya adalah kedewasaan warga (netizen) dalam berinteraksi dan berkomunikasi di media sosial. Ketika kedewasaan dan akal sehat terlupakan, jerat hukum misalnya melalui Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menanti. Hal ini tentu tak diinginkan semua orang. Masalahnya, ternyata banyak yang terkena pasal-pasal di dalamnya.

Terlepas dari semua itu. Saya kira, merawat ruang publik kritis ini tetap diperlukan. Ruang publik kritis, ditandai dengan aktifnya warganet (netizen) melakukan beragam kritik terhadap kebijakan pemerintah yang tak sesuai, atau etika-etika (politik), moral yang dilanggar. Terbukti telah membawa perubahan yang berarti.

Misalnya vaksinasi berbayar tidak jadi diberlakukan atau Rektor UI mundur dari rangkap jabatan di BUMN. Ini adalah salah satu capaian dari bagaimana ruang publik kritis itu terawat dengan baik. Ke depan, saya kira diperlukan gerakan yang lebih vokal lagi, terus merawat iklim ruang publik kritis, sehingga bisa melahirkan perubahan-perubahan yang berarti. []