Narasi Pancasila di Ruang Publik

drmansjah djumala

Di Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober, memori kolektif bangsa akan memutar ulang catatan sejarah politik-ideologi Indonesia. Hari Kesaktian Pancasila selalu diperingati tiap tahun sejak 1967, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1967 di era Presiden Soeharto. Pesan yang hendak disampaikan melalui peringatan ini adalah untuk menegaskan bahwa Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara tetap tangguh meski ada yang berusaha menggantikannya.

Memang, dalam sejarah politik-ideologi Indonesia, ancaman untuk mengganti ideologi Pancasila datang bertubi-tubi. Ancaman itu, meminjam istilah Orde Baru, dilakukan oleh kelompok ekstrem kiri (komunis) dan ekstrem kanan (negara agama). Semua itu, suka atau tidak suka, tercatat dalam sejarah politik-ideologi Indonesia.

Namun, terlepas dari ideologi apa yang pernah merongrong Pancasila, realitas politik sekarang menunjukkan kita bangsa Indonesia tetap komit kepada ideologi Pancasila. Itulah sebenarnya wujud nyata Pancasila yang tangguh dan sakti.

Ketangguhan dan kesaktian Pancasila ini mungkin hanya disadari oleh generasi tua, yang pernah mengikuti penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) era Presiden Soeharto sebelum Reformasi. Namun, ketika P4 dihapuskan pada 1998 dengan Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998, menyusul mata pelajaran Pancasila dihapuskan dari kurikulum sekolah pada 2003, kita menyaksikan ironi. Betapa tidak, sementara banyak pihak mengakui Pancasila memang sakti dan tangguh menghadapi gempuran ideologi asing, anak muda malah berpikir sebaliknya.

Coba tengok temuan survei Setara Institute yang dirilis Mei 2023. Salah satu temuannya membuat banyak pihak terhenyak: 83,3 persen siswa SMA menganggap Pancasila bukan ideologi permanen dan bisa diganti. Jika Pancasila bisa diganti, lantas di mana letak saktinya? Pada titik ini terasa ada kesenjangan persepsi antara generasi tua dan muda terkait ketangguhan dan kesaktian Pancasila.

Dalam dialog di acara sosialisasi Pancasila untuk generasi muda, satu peserta secara kritis menyampaikan pandangannya. Dikatakan, nilai Pancasila luntur dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Korupsi terus terjadi. Tindakan anarkistis dan kekerasan masyarakat nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Apa yang dikeluhkan anak muda itu betul dan nyata adanya. Sepertinya pemuda itu melihat Pancasila dari perspektif pesimistis. Pandangan yang sah-sah saja. Namun, perlu juga diingat: Pancasila sebagai ideologi negara memuat gagasan, cita-cita, dan tujuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebagai cita-cita ideal tentu pencapaiannya tidak serta-merta sekali tepuk jadi. Perlu upaya dan proses. Mari lihat manifestasi Pancasila dari dimensi optimistis.

Gotong royong

Aktualisasi Pancasila bisa dipahami dalam fungsinya sebagai living ideology dan working ideology. Sebagai living ideology, Pancasila terefleksi dalam perilaku masyarakat Indonesia dalam hubungan sosial. Pancasila menjadi nilai yang hidup (living values) dalam masyarakat.

Adapun sebagai working ideology, Pancasila menjadi inspirasi dalam membuat kebijakan publik di bidang politik, ekonomi, hukum, dan sosial-budaya. Khusus terkait dengan Pancasila sebagai living ideology (nilai yang hidup di masyarakat), ada banyak contoh manifestasinya dalam kehidupan keseharian bangsa Indonesia.

Bung Karno dalam pidato pada 1 Juni 1945 mengatakan, inti saripati nilai Pancasila adalah gotong royong. Artinya, Indonesia adalah sebuah negara sebagai hasil ”pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama”. Bangsa Indonesia terbiasa bekerja sama dan bergotong royong dalam menyelesaikan masalah.

Gotong royong merupakan realitas sosial masyarakat Indonesia. Gotong royong itu nyata ada dan hidup dalam perikehidupan bangsa Indonesia. Ambil contoh saat pandemi Covid-19. Ketika pembatasan sosial (lockdown) diterapkan di seantero negeri, nilai gotong royong ini terpancar jelas dalam kehidupan masyarakat.

Banyak warga, baik di kampung maupun di perumahan kelas menengah-atas, menggantungkan sembako, nasi bungkus, bahan makanan, masker, dan obat-obatan di pagar rumahnya, disertai dengan tulisan ”ambil seperlunya”. Itu bantuan untuk masyarakat yang tidak mampu atau yang tidak bisa keluar rumah karena lockdown.

Siapa yang suruh dan yang menggerakkan warga untuk saling membantu di kala susah? Tidak ada, selain dorongan naluri gotong royong. Sejatinya itulah nilai kebersamaan atau nilai gotong royong, manifestasi nilai Pancasila sebagai living ideology. Sebagai nilai yang hidup dalam perikehidupan bangsa Indonesia.

Masih banyak contoh lain bagaimana Pancasila diaktualisasikan dalam tindakan. Hampir di seluruh wilayah Indonesia yang beragam suku, etnik, dan agama bisa disaksikan nilai gotong royong mewujud dalam realitas kehidupan sehari-hari.

Gotong royong dan saling membantu secara alamiah muncul tatkala ada musibah atau bencana alam. Hanya bermodalkan media sosial, satu komunitas mampu mengumpulkan bantuan kemanusiaan untuk saudara-saudaranya yang tertimpa kemalangan. Itulah nilai gotong royong dalam wajah kemanusiaan.

Boleh jadi karena melihat fenomena sosial seperti ini, Charities Aid Foundation (CAF) dalam laporannya berjudul World Giving Index 2022 menahbiskan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia. Ini modal sosial yang bernama gotong royong itu, saripati nilai Pancasila yang terefleksi dalam keseharian bangsa Indonesia.

Ironisnya, banyak pihak tidak menyadari realitas sosial ini. Termasuk anak muda yang mengatakan Pancasila sudah luntur tadi. Si pemuda tidak menyadari bahwa nilai Pancasila tetap hidup, tidak luntur. Mengapa masyarakat tidak menyadari jika Pancasila tetap hidup dalam keseharian bangsa Indonesia? Karena ada kegagalan narasi tentang Pancasila di ruang publik.

Benar bahwa banyak perilaku masyarakat merefleksikan nilai Pancasila, tetapi mereka tidak menyadari hal itu. Mengapa? Karena nilai Pancasila sudah ”rooted and embedded” (berakar dan menyatu) dalam perikehidupan sehari-hari. Apa yang sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari biasanya tidak dianggap ”sesuatu”.

Analoginya: Monumen Nasional di Jakarta bukan hal yang istimewa lagi bagi warga Jakarta sebab sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Begitu juga nilai Pancasila. Karena sudah menjadi keseharian, masyarakat tidak menyadari bahwa bantuan mereka kepada saudara sebangsanya ketika ada musibah, itu adalah ”sesuatu”. Itulah Pancasila dalam tindakan.

Namun, bagaimana masyarakat tahu nilai Pancasila hidup jika tidak ada yang menarasikannya. Si pemuda tadi jarang mendengar nilai Pancasila dibicarakan dalam keluarganya. Juga di ruang publik karena Pancasila dalam tindakan tidak gencar dinarasikan. Untuk menumbuhkan kesadaran Pancasila itu nyata ada, perilaku masyarakat yang mencerminkan nilai Pancasila harus sering dinarasikan ke ruang publik melalui media sosial secara sistematis, terstruktur, dan massif.

Hari Kesaktian Pancasila menjadi momentum untuk meyakinkan bangsa Indonesia bahwa Pancasila memang sakti dan tangguh dalam menghadapi gempuran ideologi asing. Sekaligus juga sebagai pengingat bahwa Pancasila itu memang terbukti sebagai living ideology, nilai yang hidup dalam keseharian bangsa Indonesia. Sejatinya Pancasila itu nyata ada dalam masyarakat dan harus dinarasikan di ruang publik.

Darmansjah Djumala, Dewan Pakar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri dan Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Padjajaran

Sumber: Kompas.id 1 Oktober 2024