Sastra Sebagai Produk Kebudayaan

sastra sebagai produk kebudayaan

Sastra Sebagai Produk Kebudayaan
Oleh: Yons Achmad
(Kolumnis, tinggal di Depok)

Karya sastra, sebagaimana kata Abdul Wachid B.S dalam buku “Sastra Pencerahan,” bukan saja dimaknakan sebagai artefak, melainkan sebagai produk kebudayaan, hidup dan dihidupi oleh masyarakat yang menjadi rahim bagi lahirnya karya sastra. Pada persepsi dan posisi di tengah situasi kehidupan kebudayaan yang bagaimanapun, karya sastra bukan saja penanda, melainkan sekaligus sebagai petanda dari kebudayaan yang berlangsung di zamannya.

Sebuah pertanyaan kecil. Taruhlah dari sepuluh terakhir. Tepatnya misalnya dalam periode pemerintahan rezim Jokowi 2014-2024. Adakah karya sastra yang merepresentasikan zaman pada periode ini? Sebuah representasi yang jujur terhadap zaman ini. Yang kelak, sekian tahun kemudian, ketika anak-anak, cucu-cucu ingin tahu bagaimana kondisi zaman ayahnya hidup, sastra demikian mewakili.

Terkait perkara ini, saya teringat sebuah pelajaran sejarah, baik di SMP atau SMA. Misalnya, sejarah tentang Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo tokoh DI/TII. Di sekolah, kami selalu didoktrin bahwa tokoh ini sebagai sosok jahat, pemberontak NKRI yang ingin mendirikan negara Islam. Guru tidak menjelaskan konteks zaman itu di mana bentuk negara masih menjadi perdebatan. Satu bayangan yang tersimpan dalam memori, Kartosuwiryo dan NII adalah gambaran tentang pemberontakan, sebuah kejahatan.

Jelang kelulusan SMA, saya bergabung dengan organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Para mentor dan senior sedikit berikan penjelasan bagaimana DI/TII atau NII tak seperti yang digambarkan oleh para guru sejarah kami. Dijelaskan bagaimana Kartosuwiryo adalah teman baik Soekarno, dia satu kelas bahkan satu kost ketika belajar di “sekolah” dengan guru utama HOS Tjokroaminoto. Termasuk, dijelaskan bagaimana pola pencitraan buruk NII. Di mana, NII yang asli hanya 7 saja. Dan tak asli, diantaranya NII KW 9. Dibuat oleh tentara untuk menggambarkan citra buruk NII. Belakangan, NII KW 9 ini dikenal sebagai Al-Zaytun dengan pimpinan Panji Gumilang. Karena bentukan “Intel” tentara, maka wajar sulit betul dibubarkan.

Selepas SMA, saya kemudian jadi penasaran tentang sosok Kartosoewiryo ini. Saya baca buku biografi Kartosoewiryo yang diterbitkan oleh Tempo atau Gramedia, sayang tak ada kebaruan. Justru, kebaruan baru saya dapatkan ketika membaca novel terbitan lama berjudul “Lingkar Tanah Lingkar Air” karya Ahmad Tohari, penulis asal Purwokerto. Dalam novel ini, pemuda-pemuda DI/TII dengan Panji Hizbullah pada sebuah daerah Purwokerto digambarkan sebagai sosok yang sebenarnya sangat cinta tanah air. Membela kemerdekaan adalah kewajiban iman mereka. Tidak ada tempat untuk penjajahan (Belanda). Pada sebuah adegan dalam novel itu, sayang seribu sayang, saat akan gabung dengan tentara RI justru diserang kelompok tak dikenal, mereka melawan. Hasilnya kemudian malah dituduh sebagai pemberontak.

Kenapa Ahmad Tohari memilih menggambarkanya dalam novel? Saya kira alasannya jelas, tentara tidak membaca novel, jadi terbitan itu aman, tak di sweeping tentara. Di zaman orde baru, para sastrawan berusaha agar karya-karyanya sedapat mungkin bisa menggambarkan zamannya, tapi dengan beragam siasat. Beragam media disensor ketat. Kabar baiknya, seperti ditulis satrawan Seno Gumira Ajidarma “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara”. Dari sini, kita menjadi paham, ketika ingin tahu bagaimana Orde Baru berkuasa, karya-karya sastra lebih jujur menggambarkan, daripada teks-teks sejarah di sekolah atau kampus. Begitulah faktanya.

Lama setelah itu, saya kembali membaca novel bagus karya Haris Priyatna. Berjudul “Seteru 1 Guru”. Sebuah novel pergulatan kehidupan 3 murid Tjokroaminoto yaitu Soekarno, Musso dan Kartosoewiryo. Saya akan sedikit mengulasnya untuk memberikan gambaran bagaimana sosok dan posisi Kartosoewiryo yang tak seperti yang digambarkan dulu.

Oleh penulisnya, Kartosuwiryo digambarkan sebagai sosok yang tegas, punya prinsip dan berani. Seperti contoh pada saat sidang pertama KNIP. Dia menolak perundingan Linggarjati. Katanya “Perundingan Linggarjati akan mendatangkan kerugian teramat besar bagi kita, bangsa Indonesia. Wilayah kita akan menciut menjadi hanya Sumatera, Jawa dan Madura. Ini tidak sesuai cita-cita proklamasi. Lagi pula, perjanjian itu akan melenyapkan kemerdekaan. Tak mustahil Indonesia akan menjadi negara boneka”.

Atas penolakan itu, gerombolan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) mendekati Kartosuwiryo dan menggertaknya “Ini Jawa Timur, Bung! Kami yang berkuasa di sini. Jangan macam-macam. Dukung saja Linggarjati kalau ingin selamat”. Tak mempan digertak, Kartosuwiryo kontan memanggil Hizbullah, yang dengan sigap mengokang senjata mereka.

Bung Tomo yang kebetulan lewat melihat gelagat buruk itu. “Jangan, Bung ! Kita ini bersaudara, sama-sama berjuang untuk Indonesia”. Bung Tomo berusaha meredam amarah Kartosuwiryo. Lalu dia beralih ke para pemuda Pesindo dan menghalau mereka pergi.

Tak beda dengan pemuda Sosialis, Partai Sosialis juga pernah menawari jabatan untuk Kartosoewiryo. Itu terjadi saat terjadi kekosongan kekuasaan pasca jatuhnya kabinet Syahrir. Amir Syarifuddin dari Partai Sosialis yang mendapat mandat dari presiden untuk membentuk kabinet begitu kesulitan mencapai kata sepakat dengan Masyumi. Utusan pun dikirim untuk membujuk Kartosoewiryo agar mau menerima jabatan. Tapi ditolaknya. Asistennya sempat bertanya kepada Kartosoewiryo “Apa Bapak tidak sayang dengan jabatan yang ditinggalkan?” Kartosoewiryo menjawab tegas “Tidak, tujuan hidupku bukan itu, Aku ingin berjuang dengan cara yang benar”. Begitulah, di suatu tempat, Kartosoewiryo mempersiapkan sesuatu yang lebih besar.

Di Malangbong, Kartosoewiryo menekuni dunia kepenulisan. Dia mendirikan Institut Suffah: Sebuah pesantren yang mengajarkan agama, politik dan kemiliteran. Muridnya datang dari berbagai daerah bahkan dari luar Jawa. Mereka itulah yang kemudian sebagian besar menjadi tenaga inti Laskar Sabilillah dan Hizbullah.

Di tempat itu. Kartosoewiryo masih tak habis pikir mengapa harus ada Perjanjian Renville. Katanya “Amir Syarifuddin telah berbuat khianat. Dia tega menjual Jawa Barat kepada Belanda dan mengangkut semua senjata ke daerah Republik. Dia ingin Umat Islam dan rakyat Jawa Barat tidak dapat mengadakan perlawanan terhadap Belanda”.

Atas kekecewaan itu Kartosoewiryo berpidato yang sebagian isinya “Banteng Indonesia yang gagah perkasa, karena kalah silat melawan Singa Belanda, terpaksa diikat lehernya sekalipun memakai rantai emas”. Di Akhir pidato dihasilkan keputusan membentuk pemerintahan daerah di Jawa Barat dan melebur seluruh Laskar Islam ke dalam TII (Tentara Islam Indonesia) dengan markas besar di Gunung Cupu.
Penulis kemudian membawa kita bernostalgia pada saat ketiga tokoh (Soekarno, Musso, Kartosuwiryo) indekos di kediaman HOS Tjokroaminoto.

Digambarkan bagaimana pemikiran Tjokroaminoto yang menurut saya menarik. Diantaranya, ajaran tentang fondasi Islam dalam bidang sosial, yaitu Vrijheid, Gelijkheid, Broederschap (Kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan). Pemandangan lain, di kos itu digambarkan bagaimana ketekunan Kartosoewiryo membaca buku, sementara Soekarno sibuk menggoda perempuan, khususnya noni-noni Belanda.

Di bab lain, Kartosoewiryo digambarkan sebagai penulis dan wartawan. Dia pernah menjadi redaktur surat kabar Fadjar Asia, corong baru Sarekat Islam. Fadjar Asia ini menjadi kelanjutan surat kabar Bendera Islam yang terbit di Yogyakarta dan dikelola petinggi-petinggi SI seperti Tjokroaminoto, Agus Salim dan Sjahboeddin Latif. Sebelum Bendera Islam, SI punya Oetoesan Hindia. Dan Fadjar Asia tidak hanya mencakup Hindia Belanda, tetapi menjangkau mancanegara: London, Den Haag, Moskow, Mesir, India dan Tiongkok. Dari sini saya berpikir, memang benar, dalam perjuangan, media itu penting.

Di media itu Kartosoewiryo pernah menulis artikel yang memikat banyak orang. Judulnya “Orang Lampoeng Boekan Monjet, Tetapi Ialah Manoesia Belaka!” Isinya tentang para petani kecil di Lampung yang terusir di tanah miliknya oleh kapitalis Asing. Begitulah Kartosoewiryo. Tulisannya galak dan dinanti-nanti pembaca. Dalam sebuah pidato, Kartosoewiryo tidak melulu bicara Islam dan Nasionalisme. Dia juga menyuarakan perihal irigasi dan kepemilikan lahan. Soal pengairan yang kotor dan telah membunuh 90 orang di Cianjur, dia juga menggugat lahan penduduk yang diserobot.

Di bagian akhir novel ini, digambarkan bagaimana strategi perjuangan Kartosoewiryo yang akhirnya memproklamirkan Negara Islam Indonesia pada tanggal 7 Agustus 1949. Yaitu dengan strategi perang gerilya. Diceritakan oleh Kartosoewiryo bagaimana gerilyawan-gerilyawan Spanyol mengalahkan tentara Napoleon. Gerilyawan Tiongkok Utama mengusir Jepang. Dalam perang Boer di Afrika Selatan dapat mengimbangi tentara Inggris yang 30 kali lipat besarnya. Juga diingkatkan bagaimana zaman Rasulullah, Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandak, Perang Yarmuk, di mana pasukan muslimin dengan pasukan yang sedikit saja mampu mengalahkan serdadu kafir yang lebih banyak jumlahnya.

Namun, entah bagaimana, perjuangan itu akhirnya berakhir. Saat kondisi terjepit, salah seorang asistennya memberikan batu akik kepadanya dan bilang “Pak, ini ada batu cincin bagus untuk Bapak. Titipan dari orang kampung waktu saya turun ke desa. Katanya kalau pakai cincin ini terus ditembak, pelurunya berhenti”
“Hem begitu” Kata Kartosoewiryo lalu menyuruh aistennya mengambil palu. Begitu menerima palu, Kartosoewiryo menghantam batu cincin itu. Ternyata batu itu hancur berkeping-keping “Lihat, bagaimana batu ini bisa menyelamatkan hidup saya dari peluru, kalau dia tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri dari hantaman palu” Tak usah dijelaskan apa artinya, kita paham prinsip Tauhid begitu dipegang Kartosoewiryo.

Di saat kondisi terjepit itu pula Kartosoewiyo tetap melanjutkan perjuangan. Tapi, dia memberikan tawaran kepada para pengikutnya “Para Ikhwan semua, keadaan sekarang ini sudah sangat menyulitkan kita. Saya tidak ingin menambah penderitaan kalian lagi. Jika di antara kalian yang ingin menyerah silakan saja, kembalilah bertani di Kampung”

Dan, saya terkejut di bagian terakhir ini. Saya tebak pidato itu hanya untuk menguji pengikutnya untuk tetap setia dalam perjuangan atau sebaliknya. Tapi apa yang terjadi? Penulis menyebut, salah satu petinggi DI/TII yang ternyata memilih menyerah adalah “Danu Mohamad Hasan” tak lain tak bukan ayah Hilmi Aminudin, mantan Ketua Dewan Syuro PKS. Saya baca sedikit sejarah singkat, satu sumber mengatakan, tokoh ini yang kemudian direkrut BIN Ali Moertopo, musuh gerakan Islam itu. Sosok Hilmi Aminudin sendiri kemudian punya “anak emas” bernama Anis Matta. Mantan Presiden PKS yang saat ini “Nyempal” dan “keluar” dari PKS. Mendirikan Partai Gelora. Entahlah, apakah bau-bau penyusupan ada di sini? Saya tak akan berpanjang lebar.

Endingnya, Kartosoewiryo harus dihukum mati oleh teman satu kosnya yaitu Soekarno. Dia didakwa dengan 3 hal: Berbuat makar, pemberontakan terhadap kekuasaan yang sah dan upaya pembunuhan Presiden Soekarno. Begitu akhir ceritanya. Yang pasti, saya sangat puas membaca novel ini dengan tuntas. Tak mengecewakan.

Kembali kepada topik bagaimana, sastra sebagai produk kebudayaan saya kira harus terus dihadirkan. Kenapa? Sangat jelas, hari ini sejarah dan arus informasi dikendalikan oleh tangan-tangan tak dikenal. Yang tampak di depan mata, terutama di media sosial hanyalah buzzer-buzzer politik yag membabi buta menyanjung rezim sambil menyerang siapa saja yang coba mengkritiknya. Makanya, agar lahir sejarah yang jujur, tak bisa kita mengandalkan teks-teks hukum, teks teks sejarah yang ditulis penguasa, juga media-media sebagai corongnya. Sebagai produk kebudayaan, sastra harus kembali angkat bicara. Demi sejarah yang lebih jujur. []