Semiotika Komunikasi Putusan MK

semiotika komunikasi putusan MK

Semiotika Komunikasi Putusan MK
Oleh: Yons Achmad
(Pengamat Komunikasi. CEO Komunikasyik.com)

“Kemenangan Pasangan Prabowo-Gibran Sah”. Begitu tulis Koran Kompas (23/4/2024). Mahkamah Konstitusi atau MK menolak seluruh permohonan sengketa hasil pemilihan presiden yang diajukan calon presiden-calon wakil presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Putusan MK yang diiringi dissenting opinion atau pendapat berbeda dari tiga hakim ini mengabsahkan kemenangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam Pemilihan Presiden 2024.

Banyak tafsir terkait putusan MK ini. Saya coba telisik dengan semiotika (ilmu Tanda). Ferdinand De Saussure, seorang ilmuwan semiotika berpandangan bagaimana persepsi dan pandangan kita tentang realitas, dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam konteks sosial. Dalam arti, dia berpandangan tanda membentuk persepsi manusia, lebih dari sekadar merefleksikan realitas semata. Kita akan coba merunutnya.

MK telah memutuskan. Keputusan itu telah diterima oleh pasangan capres dan cawapres yang kalah. Tapi, diskusi tentang kebenaran tidak berhenti sampai di situ. Keputusan konstitusi yang final itu memang menjadi pijakan formal bagi Prabowo-Gibran melenggang tenang sambil menunggu pelantikan menjadi presiden dan wakil presiden yang sah. Hanya saja, diskusi tentang kebenaran di luar pengadilan, etika dan cacat demokrasi tetap menyisakan ruang bagi ingatan-ingatan sejarah yang tak bisa begitu saja dihapus dengan putusan MK tersebut.

Saya akan coba baca melalui semiotika sosial yang akrab dikalangan para praktisi dan peneliti bidang komunikasi. Membaca melalui tiga usur yang menjadi perhatian terhadap wacana putusan MK ini. Diantaranya Medan Wacana (field of discourse), Pelibat Wacana, (tenor of discourse) dan Sarana Wacana (mode of discourse). Kita telaah pelan-pelan:

Pertama, medan wacana (field of discourse). Terkait dengan apa yang terjadi, apa yang dijadikan wacana dan apa yang terjadi di lapangan. Dalam hal ini tema besarnya adalah sengketa pilpres dengan MK sebagai fokus utama. Hukum sebatas hukum. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak seluruh permohonan yang diajukan capres-cawapres nomor urut 01, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, serta capres-cawapres nomor urut 03, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, yang diajukan dalam sidang putusan sengketa hasil Pemilihan Presiden 2024. MK menyatakan permohonan pemohon “tidak beralasan menurut hukum seluruhnya”.

Dalil-dalil permohonan yang diajukan itu antara lain soal ketidaknetralan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan DKPP. Kemudian dalil lainnya terkait tuduhan adanya abuse of power yang dilakukan Presiden Joko Widodo dalam menggunakan APBN dalam bentuk penyaluran dana bantuan sosial (bansos) yang ditujukan untuk memengaruhi pemilu.Termasuk dalil soal penyalahgunanan kekuasaan yang dilakukan pemerintah pusat, pemda, dan pemerintahan desa dalam bentuk dukungan dengan tujuan memenangkan pasangan calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka. Juga dalil pemohon yang menyebutkan nepotisme yang dilakukan Presiden untuk memenangkan paslon nomor urut 02 dalam satu putaran, tidak beralasan menurut hukum. Semuanya itu keputusan hukum final.

Hanya, seperti yang sudah saya singgung di awal, diskusi tentang kebenaran “Yang Lain”, tidak berakhir di sini.

Kedua, pelibat wacana (Tenor of discourse). Menunjuk kepada orang-orang yang terlibat dalam wacana, kedudukan dan peran mereka. Bagi sebagian besar hakim yang terlibat memutuskan perkara, gambaran hasilnya bisa dilihat di atas. Tapi yang menarik, ada 3 hakim MK yang menyatakan dissenting opinion atau perbedaan pendapat. Walau, Dissenting opinion ini tidak mempengaruhi putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Misalnya, Saldi Isra yang membacakan dissenting opinion. Saldi mengatakan terjadi ketidaknetralan sebagian Pj kepala daerah yang menyebabkan pemilu berlangsung tidak jujur dan adil. Saldi menilai dalil tim AMIN soal politisasi bansos dan mobilisasi aparat beralasan menurut hukum. Karena itu, kata Saldi, seharusnya MK memeritahkan untuk melakukan pemungutan suara ulang.

Sementara itu, hakim Enny juga membacakan dissenting opinion. Enny mengatakan pemberian bansos oleh presiden menjelang pemilu berdampak pada para peserta pemilihan karena adanya ketidaksetaraan. Enny juga mengatakan permohonan yang diajukan tim AMIN dan tim Ganjar-Mahfud beralasan hulum untuk sebagian. Enny menilai ada pejabat yang sebagian berkelindan dengan pemberian bansos yang terjadi di beberapa daerah.

Hakim lain, Arief Hidayat juga membacakan dissenting opinion dengan menyatakan mengabulkan gugatan yang diajukan tim AMIN dan tim Ganjar-Mahfud untuk sebagian. Arief menilai seharusnya dilakukan pemilihan ulang di beberapa daerah yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Sumatera Utara.

Unsur “Pelibat Wacana” ini perlu mendapatkan perhatian ke depan. Kenapa? beberapa kalangan menilai masih ada secercah harapan dan akal sehat dalam hukum dan demokrasi di tanah air melalui pandangan-pandangan hakim semacam ini.

Ketiga, Sarana Wacana (Mode of Discourse). Terkait dengan bagian yang diperankan Bahasa, menunjukkan bagaimana para komunikator menggunakan Bahasa untuk menggambarkan medan (situasi) beserta wacana yang menjadi fokus perhatian. Kali ini kita tarik misalnya dengan pernyataan Yusril Ihza Mahendra, Tim Hukum Prabowo-Gibran. Dia mengatakan “Ini kan dunia memperhatikan, Anda bisa bayangkan ya, kepala negara, presiden, perdana menteri, dari seluruh dunia sudah mengucapkan selamat kepada Pak Prabowo, tiba-tiba MK mengatakan dibatalkan. Di mana muka kita ini mau ditaruh?” kata Yusril di Gedung MK (Kumparan, 22/4/2004). Saya kira ini pernyataan yang bernuansa politis, bukan bernuansa hukum. Menjadi tidak relevan dan hanya berpotensi membangun opini yang menguntungkan pihak yang dimenangkan.

Kita lihat yang lain. PP Muhammadiyah mengajak masyarakat untuk menyikapi hasil pemilu sebagai realitas politik dan konsekuensi logis dari sistem demokrasi yang dipilih oleh bangsa Indonesia. Diharapkan masyarakat dapat menerima hasil keputusan MK dengan arif, bijaksana, dan legawa, Tentu sebuah sikap yang adem dan perlu dicontoh.

Hanya saja, tidak berhenti di situ. Diwakili misalnya oleh Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah yang menggelar Sidang Pendapat Rakyat yang menyoroti atas sidang sengketa Pemilu 2024 di MK. Kegiatan ini sebagai bentuk kekhawatiran atas kondisi demokrasi bangsa yang semakin merosot. Ketua LHKP PP Muhammadiyah, Ridho Al-Hamdi menilai putusan MK masih menuai kritik kalangan prodemokrasi.

Akibat dari adanya berbagai kecurangan hingga pelanggaran ini, pemerintah dituntut dapat tegas dalam menangani masalah moral, etika, serta intelektual pemimpin negara yang dianggap telah menyimpang ini. “Mau tidak mau kalangan masyarakat perlu mengambil inisiatif yang inovatif berupa pembentukan sebuah Mahkamah Konstitusi versi Rakyat. Atau sebut saja Mahkamah Rakyat untuk Keadilan Pemilu,” Ridho Al-Hamdi (Inilah.com/19/4/2024).

Mahkamah Rakyat untuk Keadilan Pemilu ini diisi oleh berbagai ahli dan tokoh mulai dari Ketua PP Muhammadiyah Dr. Busyro Muqoddas, Pemikir Kebhinekaan Dr. Sukidi, mantan Ketua KPU 2004-2007 Prof Dr. Ramlan Surbakti, peneliti senior BRIN Prof. Dr. Siti Zuhro, Guru Besar Hukum Tata Negara UGM Prof. Dr. Zainal Arifin Mochtar, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, Rektor UII Yogyakarta Prof. Fathul Wahid, Pengajar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Dr. Karlina Supelli, dan Ilmuwan Politik UMY Bambang Eka Cahya Widodo. Tentu, sebuah inisiatif yang boleh-boleh saja dilakukan sebagai kreativitas warga (masyarakat). Sebagai bagian merawat akal sehat bangsa.

Melihat telisik di atas, saya kira memang semua mesti legowo menerima keputusan MK ini sebagai keputusan yang final dan mengikat. Hanya saja, tetap perlu membaca “Tanda-Tanda” dari sisi lain yang tak kalah menariknya. Sisi lain dari segi hukum formal. Sisi lain yang masih menyisakan tempat bagi akal sehat, etika dan prinsip-prinsip demokrasi. Pada Akhirnya, menyikapi putusan MK ini, menarik Sebuah ungkapan yang sempat terlontar “Ada makanan yang yang secara hukum halal, tapi secara rasa (etika) tidak enak. Tapi, kalau tetap ada yang makan, silakan, akibat ditanggung sendiri”. []