Silaturahmi yang Maknawi

silaturahmi

We cannot not communicate, itu salah satu aksioma dasar komunikasi. Bahwa sebagai manusia, kita tidak bisa tidak berkomunikasi. Bahkan, ada yang percaya, termasuk saya, tak peduli sebesar apapun masalah yang menimpa, akan selesai jika dikomunikasikan.

Maka, momentum lebaran, banyak yang memanfaatkannya dengan beragam komunikasi silaturahmi. Bagi politisi, mereka sibuk melakukan silaturahmi politik untuk tujuan politik tertentu. Sementara, bagi orang biasa, mereka juga melakukan silaturahmi (bukan) politik. Apa maknanya?

Pakar tafsir Al-Qur’an Quraish Shihab menjelaskan bahwa silaturahmi adalah kata majemuk yang diambil dari kata shilat dan rahim. Kata shilat berakar dari kata yang berarti “menyambung” dan “menghimpun”. Ini berarti bahwa hanya yang putus dan terseraklah yang dituju oleh kata shilat. Sedangkan, kata rahim mulanya berarti “kasih sayang” kemudian berkembang sehingga berarti pula “peranakan” (kandungan), karena anak yang dikandung selalu mendapatkan curahan kasih sayang.

Itulah hakikat silaturahmi. Menyambung kembali yang selama ini putus serta menghimpun lagi apa yang terserak. Seperti sabda Nabi “Tidak bersilaturahim (namanya) orang yang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi (yang dinamakan silaturahmi adalah) menyambung apa yang putus.”

Begitu hakikat silaturahmi menurut pandangan Islam. Sementara, dalam perspektif ilmu komunikasi, silaturahmi punya dimensi tersendiri. Marshal McLuhan lewat Technological Determinism Theory menyebut bahwa perubahan yang terjadi pada berbagai macam cara berkomunikasi akan membentuk pula keberadaan manusia itu sendiri.

Di mana, teknologi membentuk individu bagaimana cara berpikir, berperilaku dalam masyarakat. Apa yang disampaikan Luhan ini bisa menjadi masukan menarik dalam menelisik performa komunikasi silaturahmi kita.

Momentum lebaran, di era digital sekarang, fenomena yang tampak, tak ketinggalan ramai-ramai mengucapkan selamat idul fitri, selamat berlebaran. Baik melalui beragam group maupun jalur pribadi (japri). Hampir dipastikan, ucapan dan kalimatnya sama. Dikirim untuk semua orang. Tak salah memang. Hanya, apa yang terasakan? Hampa, minim makna.

Itu sebabnya, pertemuan tatap muka saat silaturahmi lebaran benar-benar menjadi momentum untuk mengakrabkan kembali sekat-sekat pertemanan, kekeluargaan yang selama ini barangkali lebih banyak lewat perkakas digital. Silaturahmi tatap muka langsung, benar-benar momentum yang ditunggu-tunggu.

Pertanyaan selanjutnya, makna seperti apa? Ada yang beranggapan dengan silaturahmi bakal mendapatkan sesuatu dari orang itu. Tapi ternyata bukan seperti itu. Silaturahmi bagi saya adalah berbagi. Entah ilmu, pengetahuan, pengalaman, juga mungkin barang, oleh-oleh tertentu.

Begitulah, kita memberi, tak mengharap balasan dari orang itu. Tapi, berprasangka baik, Allah SWT yang bakal membalas laku kebajikan semacam ini. Inilah silaturahmi yang maknawi. Penuh makna, penuh arti.

Selanjutnya, tak hanya terkait “kepentingan” pribadi, bagaimana silaturahmi juga bisa berdampak sosial. Seperti pada pertemuan-pertemuan para ahli ilmu, biasanya lahir gagasan-gagasan bernas yang berujung pada amaliyah nyata dalam kehidupan. Begitulah seharusnya.

Setiap silaturahmi, setiap pertemuan, menghasilkan gagasan baru, kolaborasi ciamik antar beragam manusia berkapasitas, demi nasib umat yang lebih baik dari sebelumnya. Itulah silaturahmi peradaban. Silaturahmi yang diperlukan saat ini. Melahirkan gagasan-gagasan perubahan, sinergi dan kolaborasi, berujung pada amaliyah nyata untuk umat. Bukan demonstrasi kesuksesan pribadi yang parameternya sebatas materi duniawi semata.

Yons Achmad. Pengamat Komunikasi, tinggal di Depok.