Tutupnya Toko Buku dan Masa Depan Literasi Kita

toko buku tutup

Artikel berjudul “Setelah Toko Buku Tutup” yang ditulis Saifur Rohman, pengajar Filsafat di Program Doktor Linguistik Terapan Universitas Negeri Jakarta (Kompas, 25/5/2023), menarik untuk kita simak dan dalami lebih lanjut. Saifur Rohman mendorong pemerintah segera melakukan perbaikan radikal untuk politik pendidikan menuju pengembangan pendidikan berbasis literasi perbukuan sebagai respon cepat melihat fenomena tutupnya salah satu grup toko buku legendaris dan terbesar di Indonesia, toko buku Gunung Agung.

Fenomena berguguran dan gulung tikarnya outlet-outlet toko buku di berbagai tempat merupakan situasi logis dari perkembangan marketplace online yang telah membuat gaya berbelanja masyarakat berubah drastis. Hal yang sama sebenarnya juga terjadi pada dunia fesyen, lapak-lapak pakaian di berbagai pasar dan mal bertumbangan karena sepi pembeli. Penyebabnya, tak lain dan tak bukan adalah migrasinya para pembeli ke berbagai outlet virtual di dunia maya baik di aplikasi daring maupun media sosial, seperti Facebook, Instagram, dan Tiktok.

Sebagai barang yang masih ditempatkan sebagai prioritas nomor kesekian bagi masyarakat Indonesia, buku sangat rentan dengan fluktuasi harga. Dari perspektif marketing dan pola konsumsi, membeli buku di toko buku menjadi tidak lagi menarik karena harga di toko kalah dari yang ditawarkan di marketplace online baik dari segi diskon maupun paket gratis ongkos kirim. Toko buku jika hanya menyajikan atraksi jual-beli buku maka ia sudah kalah langkah.

Di saat yang sama sebenarnya, di sejumlah daerah para pegiat literasi telah membuat terobosan-terobosan baru dengan pendirian toko buku berkonsep kafe. Di toko tersebut, penggemar buku tidak bisa membeli buku, tetapi juga bisa menyaksikan dan mengikuti atraksi-atraksi diskusi dan bedah buku yang tentu masih menjadi daya tarik bagi kaum milenial

Akhir era buku kertas

John B Thompson, profesor emeritus bidang Sosiologi dari University of Cambridge, Inggris, dalam buku terbarunya yang berjudul Book Wars: The Digital Revolution in Publishing, dirilis oleh Polity Press pada 2021, menyebutkan bahwa digitalisasi memberikan dampak signifikan pada industri perbukuan berbasis offset printing sejak pertengahan 1990-an di mana Amazon muncul sebagai toko buku global online di dunia. Namun, apabila dilihat dari fenomena Kindle (merek perangkat baca buku elektronik yang dikembangkan Amazon), Thompson mengatakan, ketakutan banyak orang bahwa buku cetak akan dikanibalisasi oleh buku elektronik (e-book) tidak menemukan bukti dalam realitasnya.

Masa emas penjualan e-book di Kindle berada pada 2012-2013. Setelah itu tren menurun. Jika kita lihat penjualan e-book di Amerika Utara, proporsinya sudah mentok di angka 20-23 persen dari total market share buku baik yang printed, electronic, maupun audio. Di Eropa, malahan booming e-book tidak pernah mencapai angka 20 persen, hanya bermain di kisaran 11-18 persen.

Bahkan, apabila kita telisik lagi, dari genre yang laku untuk e-book terpusat pada fiksi terutama sekali novel-novel romansa, sci-fi, thriller, dan misteri. Sementara untuk buku-buku pendidikan bagi siswa dan mahasiswa serta buku-buku anak mayoritas masih masif terjual dalam format tercetak. Artinya, buku kertas masih menjadi idola orang-orang di Amerika Utara dan Eropa yang selama ini sering menjadi rujukan berliterasi para intelektual di Indonesia.

Offset printing memiliki kelindan yang erat dengan toko buku. Karena teknologi cetak banyak dengan minimal oplah cetakan pertama 3.000 eksemplar ini telah menghadirkan harga buku yang ekonomis dan murah. Ketika teknologi print on demand datang lewat digital printing, kebanyakan penerbit tidak lagi mengambil risiko dengan pencetakan massal. Mereka baru berani melakukan first-run 3.000 eksemplar ketika pre-order menebus angka 1.500-2.000 pesanan.

Kelemahan dari digital printing dengan cetakan terbatas ini adalah ongkos produksi yang lebih mahal dari metode offset. Dengan demikian, ketika toko buku memberlakukan sharing profit penjualan 35-50 persen dari harga jual, maka buku-buku yang dicetak dengan print on demand ini tak lagi mendapatkan harga atraktif bagi konsumen. Di sinilah kemudian mata rantai bagi hasil itu diakusisi oleh marketplace dan media sosial seperti Tiktok yang viral sebagai media penjualan buku setahun belakangan.

Nasib literasi di Indonesia

Pemerintah di era Mendikbudristek Nadiem Makarim telah mengeluarkan beberapa kebijakan yang mendukung peningkatan literasi bagi peserta didik baik di pendidikan dasar, menengah, maupun tinggi. Ujian-ujian baik yang sifatnya semesteran, tahunan, ataupun masuk ke level pendidikan yang lebih tinggi memuat konten pengujian kemampuan literasi. Sekolah-sekolah diberikan akses mendapatkan e-book gratis untuk buku-buku pendidikan dan tersedia dana BOS untuk pengadaan buku cetak.

Perpustakaan Nasional (Perpusnas) dengan sokongan dana lebih dari Rp 720 miliar pada 2023 ini melakukan berbagai kampanye literasi ke seluruh provinsi, termasuk di dalamnya penyediaan bahan bacaan untuk masyarakat yang bisa diakses secara gratis. Bahkan, Kementerian Komunikasi dan Informatika juga sangat rajin mengadakan pelatihan dan lokakarya literasi digital bagi masyarakat. Dari sisi ini sebenarnya masyarakat dimanjakan oleh pemerintah dengan buku-buku gratis tersebut.

Sekarang kita mengalami era post-literate society, kebiasaan mengonsumsi informasi dan ilmu via teks telah berubah menjadi paparan video. Beberapa riset menunjukkan betapa kuatnya peralihan masyarakat dari teks menuju visual itu. Hubspot Research menemukan bahwa 72 persen masyarakat lebih menyukai bahan promosi berbentuk video dibandingkan teks. Laporan dari e-Marketer menyebutkan, 65,1 persen pengakses internal di seluruh dunia pada 2017 lebih menyukai konten-konten berbasis video.

Seorang senior saya yang berkarier sebagai dosen Filologi di Leiden University, Dr Suryadi, mengatakan bahwa telah terjadi perubahan drastis dalam dunia pendidikan Indonesia: siswa dan mahasiswa tidak lagi terbiasa dan kesulitan membaca kalimat-kalimat panjang pada sebuah teks. Padahal dahulu, katanya, Belanda telah meletakkan dasar pendidikan dengan kemampuan membaca teks panjang dan kompleks kepada orang-orang Indonesia. Kemampuan literasi berbasis teks kompleks ala Barat itu berkelindan dengan kearifan lokal, yakni kemampuan memproduksi dan memahami kalimat-kalimat implisit berbentuk pantun, puisi, pepatah-petitih, mocopatan, syair, dan lain sebagainya.

Harapannya memang kembali kepada bagaimana dunia pendidikan kita bisa beradaptasi dengan situasi post-literate society ini dengan tetap menempatkan buku sebagai media utama dalam pelatihan dan penanaman budaya literasi kepada masyarakat. Di sinilah kemudian saya semakin melihat kekuatan narasi pada sebuah buku akan menjadi modal dan sumber alih media bagi konten-konten audio-visual. Sangat jamak kita saksikan sekarang begitu banyak novel-novel diangkat menjadi film. Portal berita daring (online) yang memiliki warna bahasa singkat, padat, dan populer masih menyandarkan diri kepada buku-buku teks dan monograf penelitian sebagai rujukan.

Menatap optimistis

Tutupnya gerai-gerai toko buku besar dan menyejarah di Indonesia, seperti Gunung Agung, tak perlu ditangisi berlebihan oleh pencinta buku di Indonesia. Ini menjadi tantangan buat para penggiat literasi dan pebisnis buku untuk menghadirkan bentuk-bentuk baru dalam transaksi jual-beli buku. Tidak semata-mata hanya memajang buku dan mengharapkan para pembeli datang, tetapi lebih bagaimana melakukan inovasi-inovasi konsep toko buku baru yang lebih sesuai dengan gaya hidup dan kesukaan para milenial. Entah itu dengan konsep kafe, lebih banyak menghelat acara jumpa penulis, atau toko sekaligus tempat memproduksi alih media teks buku menjadi bentuk-bentuk konten audio-visual.

Tentu saja pemerintah tidak bisa berlepas diri dari situasi ini. Toko buku termasuk dari 10 aktor ekosistem perbukuan di Indonesia yang mendapatkan pengakuan lewat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan Nasional. Regulasi turunan untuk melindungi eksistensi toko buku beserta bantuan afirmatif kepada toko-toko buku yang masih istiqomah bertahan, seperti pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), skema BPJS gratis bagi pegawai toko buku, serta pemberian voucer pembelian buku untuk masyarakat agar berbondong-bondong berbelanja di toko buku, perlu dilakukan segera oleh pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan sebuah undang-undang.

Anggun Gunawan, Dosen Prodi Penerbitan Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta; Alumni S-2 Publishing Media Oxford Brookes University, Inggris

Sumber: Artikel Opini Kompas, 19 Juni 2023