Komunikasi Trauma Finansial

komunikasi trauma finansial

Komunikasi Trauma Finansial
Oleh: Yons Achmad
(Praktisi Komunikasi. Pendiri Komunikasyik.com)

Urusan “dapur ngebul” memang urusan klasik. Setiap keluarga sejak zaman dulu sampai sekarang punya dinamikanya sendiri. Tapi, kondisi tertentu punya wajah yang lebih pilu dari waktu ke waktu. Misalnya efek pandemi covid 19 yang banyak meluluh lantakkan perekonomian, beberapa diantaranya masih belum bisa ke luar, kembali mengulang kejayaan bisnis seperti sebelumnya. Belum lagi, kondisi perekonomian kebangsaan, dengan segala macam harga tiba-tiba menjadi mahal juga punya efek yang terasakan. Di tengah lesunya bisnis atau pendapatan yang stagnan, keluh kesah sering terasakan.

Suasana kebatinan demikian, sering mendatangkan kabar buruk trauma finansial. Trauma sendiri didefinisikan misalnya oleh American Psychological Association (APA) sebagai respons emosional terhadap peristiwa mengerikan. Trauma sering digambarkan sebagai peristiwa yang tidak dapat diproses oleh pikiran dan tubuh seperti pengalaman hidup biasa. Sehingga membuat terganggunya fungsi emosional, kognitif, dan fisik seseorang. Trauma bisa disebabkan karena berbagai peristiwa traumatis, termasuk masalah finansial. Trauma finansial mengacu pada gejala emosional, kognitif, relasional, dan fisik, dipicu oleh tekanan finansial yang berat.

Sebagai orang yang mencoba merasakan suasana kebatinan demikian, termasuk juga yang sedikit banyak mengalaminya, membuat saya tergerak untuk mencari jalan ke luar. Kira-kira, solusi semacam apa yang bisa dilakukan semua orang. Saya tergelitik untuk mengulik dalam perspektif dunia praksis ilmu komunikasi. Siapa tahu bisa sedikit membantu dalam mengurai perkara ini. Terutama, mengatasi dunia yang bisa dikontrol dalam jangkuan kita. Yang tak bisa kita jangkau, tentu bukan berarti kita tutup mata. Saya hanya sedang ingin fokus pada prioritas.

Misalnya soal kenaikan segala macam rupa harga. Dalam perspektif aktivis, tentu kita membacanya secara kritis. Sebuah problem struktural, problem salah urus pemerintahan. Perlawanan adalah sebuah jawaban. Masalahnya, sekuat apa perlawanan? Saya tentu masih terlibat dalam wacana demikian. Hanya saja, alih-alih energi habis untuk mengurus segala macam yang kadang di luar jangkauan, alangkah lebih baiknya menghitung kekuatan “pasukan”, tim bisnis dan karir kita untuk bisa selamat dari gelombang pertempuran yang semakin sengit ini.

Sekian lama saya bergelut dalam dunia komunikasi strategis, saya masih memercayai manifesto komunikasi semacam ini, “Seberapa besar masalahmu, akan selesai jika dikomunikasikan, pada orang yang tepat, pada lembaga yang tepat”. Saya kira, praksisnya bisa dijalankan. Misalnya dalam soal trauma keuangan finansial ini, bagi yang punya keluarga, tentu yang pertama adalah bicara baik-baik dan jujur dengan pasangan masing-masing dengan kondisi yang sedang berlangsung. Menjelaskan program-program semacam apa yang bisa dijalankan untuk bisa mengatasinya.

Selanjutnya adalah tim. Era kiwari, kita tak bisa kerja sendirian. Harus bangun tim sekecil apapun, walau mungkin hanya 3 sampai 5 orang saja. Kalau kuat, semacam semut dalam beragam kisah bijak bestari, ia bisa “mengalahkan” gajah jika strateginya lihai dan tepat.

Bantuan mentor juga boleh juga. Tak perlu malu. Saya sendiri sering datang menemui para suhu (mentor). Hanya memang kudu siap mental. Misalnya ketika menguraikan masalah dihadapannya, siap-siap disemprot “Kamu lemah, saya dari sepuluh bisnis, delapan bangkrut santai aja, kemarin event, gara-gara videotron kagak jalan kita rugi total 2 miliar”. Ya..ya..ya. Dalam hati, ternyata ada yang lebih ngeri. Tapi semangat selalu menyala abangku.

Seorang mentor lain menyarankan soal “Positioning”, sebuah strategi bagaimana kita punya tempat khusus dibenak publik. Boleh juga ini. Sejauh ini, lebih banyak random. Sampai kemudian memutuskan bahwa kami sadar betul, misalnya bisnis hiburan sampai kapanpun tetap hidup. Tapi kami tentu tidak tergoda. Saya sendiri, misalnya urusan musik dan perkara “Hok ya hok ya” plus segala rupa “kenakalan-kenalan” lainya sudah khatam. Tapi, kami juga tak begitu anti pati terhadapnya.

Saya, berangkat dari dunia literasi. Maka, bisnis dan rupa-rupa warna, tak lepas dari nuansa “Intelektual”. Masalahnya, pasar intelektual itu siapa? Faktanya, yang jogat joget “Gemoy” yang menang pertarungan. Saya meyakinkan tim, tak perlu berkecil hati menyikapi fenomena demikian. Justru ini menjadi tantangan, bagaimana hadirkan intelektualitas secara renyah, ringan dan menyenangkan. Teknisnya, menghadirkan perpaduan teks, audio dan visual yang berisi tapi dikemas secara apik dan ciamik agar tak membosankan. Sebuah PR yang terus kita gali dan praktikkan.

Kembali ke soal trauma finansial. Selain komunikasi “Ke luar”, sepertinya juga perlu berkomunikasi dengan diri sendiri. Melongok ke dalam diri. Kita perlu menghentikan sikap menyalahkan diri sendiri dan menilai diri rendah. Justru, trauma finansial menjadi tantangan untuk bisa tumbuh dan mengajarkan kedewasaan. Filsuf Descartes pernah bilang “Cogito Ergo Sum”, “Aku Berpikir Maka Aku Ada”. Kita boleh berbeda dan dengan lantang bersuara “Aku Berkarya Maka Aku Ada”. Begitulah, saya juga tak Lelah mengutip kalimat indah Penyair Rumi ““Ketika kita terus berkarya, maka kita adalah semesta yang bergembira”. Semuanya itu, satu harapannya, agar kita bisa tetap hadirkan dunia yang lebih menyala []